Terjadinyakhilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah pandangan agama adalah sangat wajar. Sesuatu yang mustahil apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, madzhab, dan sikap dalam masalah ushul, furuâ, dan siyasah.
Bertitiktolak dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas maka bahasan pokok ushul fiqh itu adalah tentang : 1. Dalil-dalil atau sumber hukum syara; 2. Hukum-hukum syaraâ yang terkandung dalam dalil itu. 3. Kaidah-kaidah tentang ushaa dan cara mengeluarkan hukum syaraâ dari dalil atau sumber yang mengandungnya.
Bagiyang menginginkan kitab asli dalam bahasa Arab dengan harga terjangkau (saat ini potongan 50%) silakan join channel telegram KITAB ARAB INI (klik) Syarah Ushul Tsalatsah: Syaikh Abdul Aziz bin Baaz. File Size 2.04 MB. Downloads 38285. Imam Bukhori pada Syarah Aqidah Thohawiyyah: Al-Hidayatur Rabbaniyyah
terhadapsyariah oleh para mujtahid berdasarkan pada dalil-dalil yang terperinci. Dengan kata lain bahwa fiqh terbatas pada hukum-hukum yang bersifat aplikatif dan furuâ (cabang) dan tidak membahas perkara-perkara iâtiqadi (keyakinan) walaupun pada awal kemunculannya merupakan bagian yang tidak terpisah. D. Definisi Kaidah Fiqhiyyah
Dengankata lain, Ushul Fikih merupakan metodologi atau teori yang tidak hanya digunakan untuk memahami hukum-hukum syaraâ saja, melainkan juga dapat berfungsi untuk menetapkan dan menghasilkan hukum-hukum syaraâ yang bersifat furuâiyah. Objek Pembahasan Ilmu Fikih. Ilmu Fikih merupakan cabang (furuâ) dari ilmu Ushul Fikih.
AshShaukani dalam Irsyadul Fuhul menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta'wil (majaal al-ta'wil); Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah.Ta'wil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama.Kedua, dalam masalah-masalah ushul
. Kita sering mendengar bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu akidah atau lebih tepat lagi ilmu kalam, karena tidak sedikit ilmu kalam yang masuk dalam ilmu ushul fikih. Kita tahu ilmu kalam pun tidak lepas dari banyak perbincangan di kalangan ulama tentang bahayanya, karena merusak akidah dan lain sebagainya. Dari sisi ini kita memandang bahwa ushul fikih adalah ilmu yang bisa membuat orang akidahnya menyimpang. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa di sisi lain ilmu ushul fikih memiliki peran yang signifikan dalam membenahi dan meluruskan akidah. Jika kita memahami pernyataan sebelumnya, tentu kita bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi? Oleh karenanya, kita perlu membagi pembahasan ini kita bagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah agar kita mengetahui benarkan ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang memiliki hubungan erat dengan ilmu akidah? Setelah itu di bagian kedua kita akan mencermati bagaimana ilmu ushul fikih justru bisa digunakan sebagai sarana yang tepat dalam memperbaiki akidah Pertama Benarkah ushul fikih adalah ilmu yang merusak akidah? Perlu diketahui bahwa para ahli ushul dari kalangan Ahlus Sunnah sangat banyak dan karya mereka pun banyak, baik mereka tuangkan dalam kitab ushul fikih secara khusus atau mereka tuangkan di sela-sela kitab mereka dalam hadits, fikih, akidah maupun tafsir. Contohnya Raudhatun Nadzir karya Ibnu Qudamah, Qawathiâ Al-Adillah karya As-Samâani, Al-Musawwadah karya keluara Taimiyah, Iâlam Al-Muwaqqiâin karya Ibnu Qayyim, Syarh Kaukabul Munir karya Ibnu Najjar Al-Futuhi dan lainnya. Bahkan kita semua tahu bahwa yang pertama kali menulis kitab dalam ushul fikih adalah Imam Syafiâi yang dikenal dengan Ar-Risalah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata âPembahasan dalam ushul fikih dan pembagiannya kepada Kitab, Sunnah, Ijmaâ dan Ijtihad serta pembahasan sisi pendalilan dalil-dalil syarâi pada suatu hukum adalah perkara yang sudah dikenal sejak zaman para sahabat Rasulullah shallallÄhu alaihi wasallam dan para tabiâin serta para imam kaum muslimin, mereka dahulu lebih ahli dengan bidang ilmu ini dan bidang-bidang ilmu agama lainnya daripada orang setelah mereka. Umar bin Khatthab pernah menulis surat kepada Syuraih yang berisi perintah hukumilah dengan kitabullah, jika tidak ada maka dengan sunnah Rasulullah shallallÄhu alaihi wasallam, jika tidak ada maka dengan ijmaâ, dalam lafadz lain dengan keputusan orang-orang shalih, jika tidak ada maka jika engkau mau berijtihadlah dengan pendapatmu. Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Masâud dan Ibnu Abbas dan hadits Muâadz adalah salah satu hadits yang paling terkenal di kalangan ulama ushulâ. [Majmuâ Fatawa 20/401] Ada sejumlah usaha yang dilakukan untuk melakukan pembenahan ushul fikih dari sejumlah penyimpangan akidah Menyaring pembahasan ushul fikih secara khusus yang sesuai dengan ahlus-sunnah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Husain Al-Jaizani dalam kitab beliau âMaâalim Fi Ushul Al-Fiqh Inda Ahlis Sunnah wal Jamaâahâ kitab ini memiliki mukaddimah yang sangat penting untuk ditelaah oleh siapapun yang ingin memulai belajar ushul fikih, sekalipun kitab sendiri ini jika dihitung sebagai kitab ushul fikih yang murni perlu pembahasan lebih lanjut. Menyaring pembahasan-pembahasan ushul fikih yang berhubungan antara ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, sehingga mudah diklasifikasikan pembahasan apa saja dalam ilmu ushul fikih yang ada hubungannya dengan ilmu akidah. Sebagaimana dalam sejumlah kitab berikut Masaâil Ushul Ad-Din Al-Mabhutsah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Dr. Khalid Abdul Lathif Kitab ini terdiri dari 4 jilid, disertasi doktoral yang dibimbing oleh Dr. Ali bin Nashir Faqihi dan Dr. Shalih bin Saâad As-Suhaimi, diuji oleh Al-Allamah Abdullah Al-Ghudayyan anggota haiâah kibar ulama dan Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Al-Masail Al-Musytarakah Baina Ushul Al-Fiqh wa Ushul Ad-Din, karya Dr. Muhammad Al-Arusi Abdul Qadir Beliau banyak bersandar pada ucapan-ucapan syaikhul islam Ibnu Taimiyah. Akhthaâ Al-Ushuliyyin fi Al-Aqidah, karya Abu Muhammad Shalih Al-Adani dan diberi pengantar oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri Kitab ini mengumpulkan sejumlah kesalahan akidah yang dilakukan oleh para ahli ushul fikih beserta bantahannya. Dibahas dalam kitab tersebut di antaranya Bahaya ilmu kalam, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, pembagian agama menjadi ushul dan furuâ, khilaf para ulama ushul dalam masalah kalam, khilaf ulama ushul tentang hukmah dan taâlil, kesalahan ulama ushul yang tidak membedakan mahabbah dan iradah, dan seterusnya. Hanya saja kitab ini seharusnya ditulis oleh seorang yang mutakhashsis atau spesialis di bidang ushul fikih agar lebih kokoh. kitab ushul fikih pada sebagian kelompok, seperti ushul fikih menurut muâtazilah. Sebagaimana dilakukan oleh Dr. Ali Ad-Dhuwaihi dalam kitab beliau yang berjudul âAaraâ Al-Muâtazilah Al-Ushuliyahâ. Yang berhak membahas korelasi antara dua ilmu semacam ini adalah seorang yang menguasai dua ilmu tersebut dengan baik, dalam hal ini adalah ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, ia harus memahami metode keduanya, kitab-kitabnya, akidah-akidah penulisnya, istilah-istilah masing-masing bidang keilmuan tersebut dan seluk-beluknya. Karena jika tidak demikian, bisa saja ia tidak memahami istilah tertentu sehingga mendatangkan hal-hal yang aneh, membuat ungkapan-ungkapan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, menempatkan kalam para ulama ushul bukan pada tempatnya dan hal-hal lain yang tidak dikehendaki. Terlebih, ushul fikih adalah ilmu yang luas dan tidak berada pada satu corak tertentu, bisa kita perhatikan Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhr Ar-Razi dan Al-Amidi, mereka semua ahli ushul fikih dari satu madzhab fikih yang sama, yaitu syafiâiyah, akan tetapi kita bisa menjumpai mereka banyak berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul fikih. Kedua Bagaimana ilmu ushul fikih bisa menjadi sarana dalam memperbaiki akidah? Ini adalah faedah penting yang sudah terbukti dengan praktik nyata, yang menyimpulkan bahwa ilmu ini sebenarnya memiliki pengaruh positif yang besar dalam memperbaiki akidah, terlepas dari perkataan sebagian kalangan âIlmu ini adalah produk orang-orang muâtazilahâ dan semisalnya yang membuat orang lari dari ilmu ini. Akan tetapi sudah terbukti dengan sejumlah daurah yang diadakan oleh berbagai pihak dan berbagai macam lembaga, misalnya dari haâiah khairiyah lembaga sosial maupun rabithah alam islami atau dari pihak universitas-universitas tertentu. Di antaranya adalah daurah musim panas yang diadakan di berbagai negara muslim yang di antaranya muslim menjadi minoritas, di tempat yang tersebar tasawuf, menjamur berbagai praktik kesyirikan, mereka memiliki kecintaan pada agama islam ini tetapi mereka terjerumus dalam berbagai kebidâahan dan perbuatan yang menyimpang. Mereka mempunyai guru-guru yang menjadi rujukan dan pengagungan yang terkadang berlebihan. Jika kita hadapi mereka secara langsung, bisa jadi mereka langsung mengusir dan ini kerap terjadi dalam beberapa kasus, karena mereka menganggap pendatang tersebut ingin mengganti agama yang sudah mereka kenal sejak zaman dahulu. Akan tetapi ketika kita ajarkan kaidah-kaidah umum dan kita arahkan mereka agar menghormati dalil, menyadarkan mereka agar menjadikan dalil sebagai rujukan, yaitu dalil-dalil yang wajib ditanyakan kepada siapapun yang berfatwa atau berbicara tentang suatu hukum. Dalil tentunya kita ketahui berupa Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallÄhu alaihi wasallam, Ijmaâ dan Qiyas. Sehingga para pemuda yang belajar dalam daurah-daurah tersebut kemudian melontarkan sejumlah tanda tanya kepada guru-guru mereka, dan guru mereka pun bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, karena sebagian manusia jika sudah terbiasa dengan kebiasaan tertentu dalam waktu yang lama tidak pernah berhenti sejenak untuk berpikir âapakah yang saya lakukan ini ada dalilnya?â Dari sisi lain, terkadang mereka menemukan permasalahan pada sebagian dalil, misalnya dalam hadits tertentu ternyata haditsnya lemah yang menjadikan tidak bisa diterima, atau penerapan qiyas padahal dalam masalah aqidah padahal tidak ada qiyas di sana karena tauqifi, atau terkadang mereka berdalil dengan hadits shahih tetapi mereka mentakwil dengan cara yang tidak benar dan tidak terpenuhi syarat takwil shahih. Ketika mereka menerapkan pelajaran-pelajaran ushul fikih ini, maka mereka dengan sendirinya memperbaiki kesalahan mereka dan lebih mudah menerima kebenaran setelahnya. Maka, pernyataan bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang menjauhkan manusia dari ketundukan terhadap hukum-hukum syariat dan akidah perlu ditinjau ulang. Karena faktanya bisa membenahi dan mengokohkan akidah yang benar dan bagaimana mencapainya. Faedah ini disampaikan oleh Dr. Iyadh As-Sulami dalam cuplikan muhadharah beliau di sini Fidaâ Munadzir Abdul Lathif
ďťżIslam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu USHULUDDIN dan FURUâUDDIN. Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat PRINSIP dan MENDASAR, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan. Sedang Furuâuddin biasa disingkat FURUâ, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun TIDAK PRINSIP dan TIDAK MENDASAR, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furuâ, karena perbedaan dalam Furuâ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni ADA DALIL YANG BISA DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA SYARâI. Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furuâ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati B. MENENTUKAN USHUL DAN FURUâ Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURUâ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD Sanad Penyampaian dan DILALAH Fokus Penafsiran. WURUD terbagi dua, yaitu 1. Qothâi yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR. 2. Zhonni yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR. Mutawatir ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga MUSTAHIL mereka berdusta. DILALAH juga terbagi dua, yaitu 1. Qothâi yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN. 2. Zhonni yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN. Karenanya, Al-Qurâan dari segi Wurud semua ayatnya Qothâi, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qothâi karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran. Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qothâi, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qothâi karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman. Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furuâ, maka ketentuannya adalah 1. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qothâi, maka ia pasti masalah USHUL. 2. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURUâ. 3. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qothâi tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURUâ. 4. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qothâi, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURUâ. Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan. Betul begitu ?! C. CONTOH USHUL DAN FURUâ 1. Dalam Aqidah Kebenaran peristiwa Isra Miâraj Rasulullah SAW adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHâI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Israâ Miâraj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah FURUâ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Israâ Miâraj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AQIDAH. Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Israâ Miâraj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syarâi ia tidak sesat, karena masalah FURU AQIDAH. 2. Dalam Syariat Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHâI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah boleh dijamaâ tanpa udzur, maka masuk masalah FURUâ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban Shalat Lima Waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari USHUL SYARIAT. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjamaâ shalat tanpa âudzur atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syarâi ia tidak sesat, karena masalah FURU SYARIAT. 3. Dalam Akhlaq Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHâI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjamaâah, maka masuk masalah FURUâ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AKHLAQ. Namun barangsiapa yang berpendapat tidak boleh berjabat tangan setelah shalat berjamaâah atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syarâi ia tidak sesat, karena masalah FURUâ AKHLAQ. Inilah yang menjadi metolodogi yang disepakati oleh para salaf dan kalaf, guna menjadi panduan dalam bermanhaj. Allah al mustaâan..
Origin is unreachable Error code 523 2023-06-16 200459 UTC What happened? The origin web server is not reachable. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Check your DNS Settings. A 523 error means that Cloudflare could not reach your host web server. The most common cause is that your DNS settings are incorrect. Please contact your hosting provider to confirm your origin IP and then make sure the correct IP is listed for your A record in your Cloudflare DNS Settings page. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d85a9992bf528a1 ⢠Your IP ⢠Performance & security by Cloudflare
Segala Nan Dimaksud Ilmu Ushul dan Furuâ? Sidang pembaca yang memiliki akhlaq indah berikut kami sajikan apa yang dimaksud ilmu ushul dan furuâ? Selamat membaca. Pertanyaan Apakah yang dimaksud keburukan furuâ dalam hakikat fiqih ialah mengenal hukum-hukum syarâi salam ki kesulitan furuâ? Ditanyakan oleh Santri Khotbah Selam Online Mahad BIAS Jawaban Bismillah. Sebagai halnya yang sudah banyak di berjalan dan dipergunakan oleh para cerdik pandai di dalam menjatah cabang mantra, yakni Ushul dan Furu. Ushul masuk di dalamnya hobatan akidah dan ilmu ushul, dan menempatkan masalah-ki aib aji-aji fiqih sebagai hobatan furu` cabang. Mereka memberi pembagian ini berdasarkan pertimbangan, bahwa permasalahan yang ada udzur bersumber kesalahannya ibarat ilmu Furu dan nan enggak ada udzur dari kesalahannya disebut sebagai mantra ushul. Keabsahan pembagian syariah menjadi ushul dan Furu` sebagaimana di atas telah ditentang dan dikritisi makanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim serta para ulama yang lain. Mereka berpendapat bahwa pendistribusian tersebut belum pernah ada pada masa Utusan tuhan maupun masa sahabat, bahkan beliau bermula Mu`tazilah dan semisalnya dari ahlul bid`ah, karena aji-aji syariat semuanya gerendel, enggak ada taktik maupun simpang, semuanya penting. Dari pengingkaran terhadap permasalahan keduanya semua bisa menjadikan seseorang keluar berusul agama bila mengingkarinya. Dan sebagainya dari hujjah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam. Silahkan baca sendang berikut Majmu fatawa 346 -347, 13/126, minhaj sunnah 5 48 â 95, Majmu fatawa 6/56 -57 Sahaja sebagian para cerdik pandai tetap berpendapat, bahwa pembagian hobatan ushul dan furu` hanya sebagai pembagi semenjak ilmu nan suka-suka berusul ulum syar`i tanpa meredam emosi identitas dan konsekuensi bermula keduanya. Sehingga pembagian ilmu syar`i dengan ilmu ushul dan ilmu furu` diperbolehkan secara istilah. Wallahu a`lam. Dijawab dengan ringkas oleh Ustadz Muâtashim, Lc. MA. ŘŮظ٠اŮŮŮ Jumat, 20 Ramadan 1443 H/ 22 April 2022 M Ustadz Muâtashim Lc., Dewan interviu DidikanSelam Bias, alumus Perkumpulan Islam Madinah syarah Syariah dan MEDIU Cak bagi mengaram artikel lengkap dari Ustadz Muâtashim Lc., ŘŮظ٠اŮŮŮ klik di sini
MENGENAL KEMBALI USHUL WAL FURUâ Banyak diantara saudara Muslim kita yang mudah sekali mencap saudaranya sebagai Kafir, Munafik, Ahlul Bidâah, dsb dengan alasan dalil, bukan alasan zhahir yang telah disepakati para Ulamaâ dengan syarat â syarat tertentu dan pertimbangan yang matang. Mereka hanya menelan mentah â mentah apa â apa yang guru mereka sampaikan tanpa melalui khazanah yang luas dan mendalam. Dalam memahami dalil juga diperlukan ilmunya. Adapun masalah itu, sudah terangkum dalam pengertian di bawah ini. A. MAKNA USHUL DAN FURUâ Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu USHULUDDIN dan FURUâUDDIN. Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat PRINSIP dan MENDASAR, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan. Sedang Furuâuddin biasa disingkat FURUâ, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun TIDAK PRINSIP dan TIDAK MENDASAR, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furuâ, karena perbedaan dalam Furuâ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni ADA DALIL YANG BISA DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA SYARâI. Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furuâ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati. B. MENENTUKAN USHUL DAN FURUâ Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURUâ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD Sanad Penyampaian dan DILALAH Fokus Penafsiran. WURUD terbagi dua, yaitu 1. Qothâi yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR. 2. Zhonni yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR. Mutawatir ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga MUSTAHIL mereka berdusta. DILALAH juga terbagi dua, yaitu 1. Qothâi yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN. 2. Zhonni yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN. Karenanya, Al-Qurâan dari segi Wurud semua ayatnya Qothâi, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qothâi karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran. Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qothâi, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qothâi karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman. Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furuâ, maka ketentuannya adalah 1. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qothâi, maka ia pasti masalah USHUL. 2. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURUâ. 3. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qothâi tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURUâ. 4. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qothâi, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURUâ. Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan. Betul begitu ?! C. CONTOH USHUL DAN FURUâ 1. Dalam Aqidah Kebenaran peristiwa Isra Miâraj Rasulullah SAW adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHâI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Israâ Miâraj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah FURUâ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Israâ Miâraj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AQIDAH. Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Israâ Miâraj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syarâi ia tidak sesat, karena masalah FURU AQIDAH. 2. Dalam Syariat Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHâI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah boleh dijamaâ tanpa udzur, maka masuk masalah FURUâ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban Shalat Lima Waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari USHUL SYARIAT. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjamaâ shalat tanpa âudzur atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syarâi ia tidak sesat, karena masalah FURU SYARIAT. 3. Dalam Akhlaq Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHâI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjamaâah, maka masuk masalah FURUâ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AKHLAQ. Namun barangsiapa yang berpendapat tidak boleh berjabat tangan setelah shalat berjamaâah atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syarâi ia tidak sesat, karena masalah FURUâ AKHLAQ. Mengerti kan, jadi dalam memahami suatu masalah, tidak usah ribut â ribut seperti anak kecil. Cukuplah dengan ilmu yang memadai, jiwa yang tegas dan hati yang bersih. Insya Allah, suatu permasalahan di kalangan kaum Muslimin bisa teratasi. Allah al mustaâan⌠Wa Allaahu aâlamâŚ
ushul dan furu dalam aqidah